Anak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis, Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, “Ini Metropolis, Bung!” Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimana mungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan. Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan. Barangkali ke Jakarta Pusat.
Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Mereka saling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Atau kabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelum segalanya terlambat.
“Ibu! Ibu!” teriak anak laki-laki itu menyebut ibunya. “Ibu! Ibu! Jangan menari lagi!” ia meminta ibunya untuk tidak menari lagi. O, jadi rupanya ibunya seorang penari. Tapi di mana ibunya? Mengapa ia berteriak-teriak? Apa ibunya mendengar teriakannya? Mengapa ia melarang ibunya menari lagi? Memangnya kenapa kalau ibunya tetap menari? Anak 10 tahun ini boleh jadi anak yang aneh. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menanyainya kenapa ia berlari, barangkali orang-orang itu bisa menolongnya jika ia butuh pertolongan namun anak itu acuh tak acuh dan terus berlari. “Ada apa, Nak? Ada apa, Nak? Ngapain lo lari terus? He, lo, dikejar setan, lo?!”
Semrawut kota semakin bising. Suasana mendesing bunyi gasing. Kepala berputar kerna pusing. Di jalan-jalan Jakarta tak ada tempat untuk kencing. Dihardik satpam jadi emping, bagai Jacky Chan melenting. Semua pertanyaan lompat bajing, mencari kekal pada dinding. Lonceng kota berdentang dua kali, mengucap salam pada metromini. Lamat-lamat ditelan mall yang bernyanyi. Seolah metropol miliknya sendiri. Hitam kayak pantat kuali. Legam persis malam mati. Lari! Lari! Tekuk dan telan kota, atau kota ditekuk dan ditelan orang lain. Jangan ketinggalan. Jangan pernah mau mengalah. Jangan pernah kalah. Tempeleng orang lain sebelum ditempeleng orang lain. Jakarta sudah lama bilang ogah. Tidak seramah abah dan babah semasa zaman misai jepaprah.
“Ibu jangan menari lagi!” teriaknya sepanjang jalan raya itu.
Orang-orang yang berpapasan mendesah. “Ini anak apa maunya?!” Orang-orang melengos. Seperti bandit yang dibiarkan lolos. Matahari membantu tapi butuh ongkos. Ada saja yang kejeblos di pasir boblos. Di sekolah anak tak pernah bolos. Ia ingin lolos dari angka-angka tidak polos. Seluruh hamba wet, seluruh penghuni hotel prodeo adu jotos. Saling gertak narkoba oplos. Anak itu melompat pagar tanaman. Supaya jarak lari menjadi aman. Cepat ketemu ibu dirundung sawan. Jangan-jangan sedang menari bersama awan.
Anak ini cerdik bagai jengkerik. Mau dicaplok katak, ia mendelik. Sotangnya tajam bagai taring kirik. Tak peduli pada aspal jalan yang panas, telapak kaki tanpa alas. Tak kenal batas. Aduh, anak itu tahan menceker. Kemana sandal jepitnya tadi di emper. Berlari chitah menerkam kijang tercecer. Di ladang luber. Padang darah berember-ember. Aduh, Eyang, otak cucu belum juga encer. Mencari hidup layak seperti pesan bapak. Walau di lapak, mabuk tetap tegak. KTP diinjak-injak, kadaluwarsa dari sepihak. O, aparat James Bond terbahak. Berlari terus, Anakku. Berlari terus, Anakku. Jangan menoleh ke belakang. Hanya lumpur panas dan kalajengking di bawah keset. Jangan terpeleset. Hidup bisa dicicil angket. Muntahkan segala pikiran kotormu. Jeritkan segala raung serigalamu.
Ibunya sedang menari di atas jembatan layang. Seonggok jalan layang ke Universitas Indonesia gemilang. Di bawah jalan layang, bertengger gubuk derita malang. Tiga kali kena gusur, termasuk jalur hijau jalang. O, orang yang matanya nyalang. O, Henry Muhammad, agung bagai baja, menghirup angin surga. Pesanlah nisan sekarang, supaya hati tak garang; begitu pemerintah kasih wejangan. Pasrah tanpa curang. Tak pula timpang. Tiba-tiba kesandung maut dari seberang. Tak mati-mati. Tak mati-mati. Apa mau dikata. Nasib orang, Tuhan yang pegang. Lalu kena sabetan keris yang ditempa padepokan Ganggang. Ia musnah. Jasadnya lenyap ditelan udara. Bukan ratu, bukan raja, bukan pula keris patih. Ia keris empu, cucunya cucunya cucunya cucu Empu Gandring.
Ia diangkat Allah ke firdaus ketujuh. Perahu malaikat burung puyuh. Tak ada tempat yang jauh. Dalam sehari 50.000 tahun mengayuh. O, Tuhan kendali manusia. O, Tuhan sayang manusia. O, Tuhan tempeleng manusia. Tinggallah putri bersama anak semata wayang. Kedua orang bertahan di bawah jembatan layang, tanah asli ayah bayang. Penari agung bikin keder pemda, putri jelita berbanding Sembadra. Si anak ksatria utara, badai derita kota. Ia anak mama. Baik budi, berbakti, dan pertapa sejati. Ksatria Utara tak mau berkelahi. Ia terlalu sakti. Ia hindar bertengkar kerna pintar. Namanya bikin gentar.
Setiap mahasiswa melaju mobilnya ke universitas, mencium bau wangi. Wangi jembatan layang. Itu udara pagi. Itu udara wengi. Lalu berpijar cahaya api. Nyawa yang berbakti. Ibu Pertiwi mengerti. Udara, api, tanah, air, zat, hitungan akurat. Mengambang taat. Mengalir angkasa pesat. Segala tempat. Butiran menjelma hujan. Tumbuh harapan. Dipuja petani. Kemana tanahku. Kemana tanahku. Dengarkan mahasiswa sedang berjuang. Menggaris lurus menerka keadilan. Tanah di bawah jambatan layang UI diberi julukan “O Henry Rudini”, kenangan manis buat Mendagri dan Henry yang tertindas. Namun tak beringas. Ia ksatria tuntas. Berbanding Pandawa pantas. Seluruh menteri melankolis menatap Henry. Alasan Henry minta ganti rugi mahal kerna tiga kali dibohongi. Tiga kali tanah dibeli di berbagai tempat jeli selalu kena jalur hijau pasti.
“Ibu! Ibu!” teriak anak lelaki itu dari bawah jembatan layang UI menatap ibunya yang sedang menari di atas pagar jembatan layang. Di dalam kendaraan-kendaraan pribadi di sela lalu-lintas yang selalu padat itu, para mahasiswa melongok-longok lewat jendela mobilnya. Mereka saling bertanya.
“Ibu jangan menari!” sambung anak itu. “Dua puluh tiga ekor ikan paus menyeret gunung es. Datang dari kutub utara, mereka sudah sampai Pulau Seribu.”
Namun Valeria Daniel dari antv di atas helikopter melaporkan pandangan mata: “Jakarta tenggelam dilanda banjir bandang. Berpuluh ikan paus mengunyah gunung es yang mereka seret dari kutub utara. Laut meluap. Mobil-mobil tinggal atapnya yang muncul. Bagai papan-papan selancar, puluhan, ratusan mobil mengambang. Jakarta musnah!”
Keadaan darurat nasional gubernur umumkan. Pasukan antihuru-hara diterjunkan. Di seluruh kawasan. Di pojok-pojok Jakarta rawan. Tanggulangi penjarahan dan perampokan. Korban banjir antara yang hidup dengan yang mati, mengambang dan tenggelam maupun berenang di dataran luas yang dalam. Para relawan penolong bertindak. Dibutuhkan perahu karet mendadak. Dalam jumlah besar membengkak.
Helikopter menyigi rendah. Tenaga-tenaga penolong susah. Saking banyaknya korban entah. Daerah Khusus Ibukota payah. Banyak individualis jengah. Dengan sangat meminta para politisi dan wartawan tidak memolitisir musibah “Jakarta Meratap” dengan “pemerintah ditolak alam”.
“Itu klenik!” seru jubir pemerintah dalam menanggapi pernyataan bahwa pemerintah dimusuhi alam.
Selama ini pemda DKI meyakini bahwa penari jembatan layang UI itu kong kali kong dengan ikan-ikan paus yang segede-gede kapal destroyer dari kutub utara. Berkali-kali banjir besar melanda Jakarta, berkali-kali penari itu diburu, namun dia selalu lenyap tak berbekas. Nah, sikap ini kentara sekali, ternyata pemerintah sendiri sangat doyan klenik. Sebagai ahli waris Henry atas sepetak tanah di bawah jembatan layang UI, dia terus menuntut ganti rugi yang layak. Andai dulu pemda di zaman Orba tidak pelit dan mau membayar ganti rugi satu miliar rupiah, tentu jumlah itu saat ini, di milenium ketiga, tak ada artinya. Tapi itulah jalan hidup. Pemerintah yang dulu, sampai kini tentu semakin dirundung dosa yang kelewat-lewat.
Jakarta tenggelam. Kota gelap gulita. Di siang hari jadi kota mati. Perampokan bersimaharajalela. Supermarket, mall-mall, toko-toko, pasar, ATM, restoran, bank-bank, kantor-kantor, departemen keuangan, perumahan mewah, pegadaian, dan seluruh tempat yang menyimpan duit atau pangan, menjadi sasaran penjahat maupun orang baik-baik. Banjir rasanya semakin meninggi. Korban tak dapat dihitung. Bagai monumen, gunung es yang bercokol di utara Pulau Seribu itu dikitari puluhan ekor ikan paus yang berloncatan ke udara ganti-berganti. Mereka dengan gigih menabrak-nabrakkan tubuhnya ke arah gunung es itu yang agaknya untuk secepatnya mencairkannya guna memandikan Jakarta. Satu pasukan khusus diterjunkan dari helikopter di atas jembatan layang UI dan di Pulau Seribu untuk menangkap sang penari dan membunuh ikan-ikan paus itu. Namun penari cantik dan ikan-ikan paus itu tidak peduli. Dia dan ikan-ikan paus itu terus menari. Dan alam sangat membantunya. Angin kencang menyapu pasukan khusus berikut helikopternya sehingga mau tak mau mereka harus menjauh dari penari dan ikan-ikan paus itu.
Gelombang menggempur Tanjung Priok, Gunung Sahari, Senen, Cikini, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Blok M, Cilandak, Cinere, Parung, dan melahap terus ke selatan. Kali Deres berteriak-teriak meminta tolong. Kampung Rambutan memahami musibah itu. Mall-mall dipenuhi para pengungsi. Orang-orang kaya mengungsi ke hotel-hotel. Hotel Sari Pasifik di Jalan Thamrin yang dibangun dengan pondasi yang tinggi, paling laris karena agaknya dibangun untuk mengantisipasi banjir bandang itu. Tapi segala jenis hotel penuh. Keluarga terpisah dengan keluarga lainnya. Sanak terpental dari sanak. Ibu dari anak. Suami dari istri. Paman dari keponakan. Kakek dari nenek. Cucu dari buyut. Canggah dari wareng. Kekasih dari asmara. Benci dari cinta. Cemburu dari buta. Melek dari kantuk. Bola dari Piala Dunia.
“Ibu stop menari! Ibu stop menari!” teriak anak itu terus-menerus dari bawah jembatan layang itu.
Sang penari tidak menstop tariannya. Beberapa orang mahasiswa memarkir kendaraannya di jembatan layang itu untuk melihat penari itu tetap gemulai dengan gerakannya. Sejumlah sniper membidik penari dan ikan-ikan paus itu dari kejauhan. Namun alam tetap membela penari dan ikan-ikan paus itu. Para sniper itu dibuat kelilipan matanya sehingga membatalkan bidikannya. Hari balas dendam telah terjadi. Anak itu terus melanjutkan teriakannya. Ibu itu terus melanjutkan tariannya.
Karya : Danarto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar